Selasa, 11 Desember 2012

Mengadu Domba Berkedok Nasionalisme


Penulis: Eddward Samadyo Kennedy

Bagi warga negara Indonesia, memberi dukungan kepada timnasnya adalah motif klise yang berujung pada sikap sentimentil. Terlebih, dalam momen pertarungan antara PSSI dan KPSI seperti sekarang ini, dukungan terhadap timnas tak ubahnya seperti menapaki jalan martir.

Siapa saja Anda yang mendukung timnas pada saat sekarang, maka Anda harus siap dengan segala konsekuensi tuduhan atau makian, yang di dalamnya selalu terselip label "antek-antek", entah "antek-antek PSSI" atau "antek-antek KPSI". Sepakbola di tanah air ini kemudian berubah menjadi laku yang sangat politis, penuh hujatan, dan semakin miskin prestasi.

Hal itulah yang sempat dicemaskan oleh Football Fandom, salah satu pegiat diskusi tentang sepakbola di Yogyakarta, ketika berencana menggelar acara nonton bareng Indonesia kontra Malaysia di kafe pada malam itu, Sabtu (1/12/2012). Tapi rasa cemas, menurut sebagian orang, adalah bagian dari pertunjukkan.

Benar saja, ketika sore mulai lenyap, orang-orang mulai berduyun datang ke kafe itu, sebagian besar duduk berbarengan, sebagian lagi berdiri, semua padu meneriakkan yel-yel, semua serentak menyanyikan koorIndonesia Raya seperti layaknya suporter Indonesia yang hadir langsung di Bukit Djalil. Rasa cemas itu musnah sudah. Mereka yang hadir di sana hanya untuk sepakbola, untuk Indonesia.

Menjadi suporter di depan layar kaca sejatinya adalah tindakan delusional. Anda akan "dipaksa" berteriak-teriak ketika wasit melakukan kesalahan, pemain lawan menunjukkan tekel berlebihan, atau tim kesayangan menyia-nyiakan peluang. Anda akan trance selama 90 menit dan tak akan menyadari bahwa ada keterpisahan jarak ribuan kilometer pada saat itu.

Dalam kurun waktu tersebut, Anda beralih wujud menjadi "cyborgian" -- teorema Slavoj Zizek untuk menyebut subjektivitas "pascamanusia" dalam dunia virtual -- yang terus menyusun rapi symbolic order(mimpi indah), meminjam istilah Zizek lainnya, secara kolektif dengan orang yang ikut menonton, berharap tim Anda akan menang berapapun dan dengan cara apapun.

Namun, apa boleh buat, meski bermain cukup apik, Indonesia akhirnya dipaksa menyerah 0-2 dari rival sedarahnya, Malaysia. Ada yang sedih sekaligus wajar dalam momen itu: kekalahan. Tetapi, suporter Indonesia sudah paham betul bagaimana cara menyikapi tragedi, bagaimana bersikap sebagai suporter dari sebuah negeri yang selalu nyaris menjadi juara di setiap turnamen.

Indonesia memang sebuah negeri dengan kompleksitas masalah yang terjadi nyaris di semua lini kehidupan. Anda dapat sebut dari segi apa yang Anda kehendaki, niscaya semua bermasalah. Pendidikan, ekonomi, hukum, keamanan, semuanya, seluruhnya. Dan semua itu dapat Anda lihat melalui satu perspektif: sepakbola.

Semua yang terjadi dalam sepakbola Indonesia nyaris rusak seluruhnya. Tak heran jika kemudian mayoritas orang-orang di sini telah dirasuki pemahaman di alam bawah sadarnya, bahwa timnas akan selalu menjadi penggembira, hanya akan menyisakan cerita pedih bagi mereka yang berharap perbaikan.

Banyak contoh untuk menggambarkan amburadulnya sistem persepakbolaan Indonesia. Satu contoh saja, misalnya, ketika pembinaan pemain usia dini tak berjalan, PSSI kemudian dengan enteng mengambil langkah instan: menaturalisasi pemain-pemain asing.

PSSI dan sebagian dari Anda bisa saja berdalih bahwa menaturalisasi pemain asing bukanlah langkah yang salah. Prancis di Piala Dunia 1998 adalah contoh konkrit, bagaimana kemudian proses menaturalisasi dapat berujung kepada trofi dan kesuksesan.

Nyaris separuh skuat Prancis asuhan Aime Jacquet kala itu adalah produk naturalisasi -- walaupun sejatinya mereka adalah warga imigran: Zinedine Zidane (Aljazair), Claude Makelele (Zaire), Lilian Thuram & Thierry Henry (Guadalupe), Christian Karembeu (New Caledonia), dan Marcel Desailly (Ghana). Tapi ada satu yang luput dari naturalisasi itu: sebuah akademi sepakbola yang sehat untuk menimba bakat pemain, meski pemain asing sekali pun.

Di Prancis, ada Clairefontaine untuk menjawab itu semua, sebuah akademi yang melahirkan Zidane, Henry, Nicholas Anelka, Hatem ben Arfa, Samir Nasri, atau Karim Benzema. Dengan sistem pembinaan sejak usia 13 tahun, Clairefontaine telah menunjukkan kepada dunia seperti apa -- dalam bahasa yang vulgar -- cara "menaturalisasi pemain yang baik dan benar".

Selain Clairefontaine, ada juga La Masia, sebuah akademi Barcelona yang merupakan buah filosofi dari Rinus Michels, sang bapak Total Football. La Masia memang tak menaturalisasi pemain asing, tetapi mereka menerapkan secara sehat lagi sistematis, bagaimana cara pembinaan pemain muda dalam kurun waktu yang tak sebentar.

Untuk menilai tolak ukur kesuksesan La Masia, Anda cukup melihat bagaimana keberhasilan Barca di bawah asuhan Pep Guardiola dan Spanyol yang berhasil meraih Piala Eropa (dua kali) dan memutus tali penantian di Piala Dunia dengan meraihnya pada 2010.

Tak hanya trofi, tetapi Barca dan Spanyol juga turut menyabet predikat sebagai tim terbaik sepanjang sejarah. Xavi Hernandez menjadi metronom gaya baru dengan pola Tiki-Taka. Dan untuk menilai bagaimana produk pemain asing jebolan La Masia, Anda cukup meneliti apakah Lionel Messi murni manusia atau betul "keturunan alien". Sejak Piala Dunia 2010, Meksiko kemudian turut menerapkan sistem La Masia di negara mereka.

Usaha PSSI menaturalisasi pemain asing sejatinya sempat berhasil untuk beberapa saat. Masyarakat Indonesia terpukau dengan postur-postur tinggi besar itu, dengan nama-nama tak familiar itu. Permainan Indonesia, yang juga bentukan dari pelatih asing, pun terlihat cukup apik, hingga mampu menembus babak final AFF 2010, kendati pada akhirnya juga kalah dengan tragis di Gelora Bung Karno, dengan lawan yang juga Malaysia.

Harus diakui, tanpa sistem pembinaan pemain muda dan kompetisi usia dini yang sehat, naturalisasi pemain asing ala PSSI terlihat tak ubahnya sikap absurd nan konyol. Percaya kepada usaha tersebut tak ubahnya seperti percaya kepada mitos teko sakti yang lahir dari dongeng Aladin di Baghdad.

Hingga saat ini, menaturalisasi bakat asing karena gagal mencari 11 pemain berkualitas di antara 300 juta lebih penduduk Indonesia adalah salah satu guyonan terbaik PSSI sepanjang sejarah. Ditambah dengan kedok nasionalisme, guyonan tersebut semakin terasa mengocok perut.

Maka, dengan segala kekonyolan yang terjadi di ranah sepakbola Indonesia saat ini, adalah ajaib ketika melihat sebagian suporter ada yang masih sudi memilih jalan martir untuk mendukung Indonesia. Bersusah payah menggadaikan motor atau laptop untuk memenuhi ambisi menonton langsung di tribun Bukit Jalil, merasakan jantung yang terus berdegub kencang karena bersemuka dengan suporter Malaysia.

Dan semakin absurd pula rasanya ketika mengetahui ada sekitar 60-an orang mau duduk berdempetan, berteriak hingga tenggorokan kering di depan layar televisi, di kafe yang tak luas itu, dengan alasan "mendukung timnas", dengan stigamitasi "antek-antek" yang kemungkinan akan mereka terima nantinya. Tapi cinta adalah soal hati, kata sebuah lirik lagu. Kekalahan adalah lain soal.

Setelah pertandingan usai, mereka yang menonton di kafe itu beranjak pulang. Beberapa di antara mereka masih ada yang berdiskusi membicarakan taktik kedua tim tadi. Beberapa yang lain ada yang memilih berdiam, coba mengkhidmati kekalahan Indonesia. Hujan lalu turun bersamaan dengan petir yang menggeledek. Kafe pun semakin sepi. Kian sepi.

Malam itu Indonesia memang kalah dari Malaysia, tak lolos ke semifinal, dan bermain tak karuan. Tapi semua suporter Indonesia yang hadir di kafe itu paham, mereka hanya mendukung Indonesia, bukan KPSI-PSSI -- apalagi politisi. Dan kelak, setelah kekalahan ini, Indonesia akan mencatat salah satu tragedi paling tragis yang pernah ada dalam sejarah sepakbolanya:

Mengadu domba bangsa sendiri dengan kedok nasionalisme.

==
* Penulis adalah wartawan detiksport. Akun twitter @propaganjen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar