Penulis: Andi Abdullah
Sururi
Palangkaraya - Pernah ada yang berkata, “kalau FIFA mau menghukum Indonesia, mereka sebenarnya bisa melakukan itu sejak lama”. Kali ini, dengan kekisruhan entah jilid ke berapa, akankah ia datang?
Banyak yang bisa dijadikan alasan kenapa Indonesia semestinya
sudah diskorsing FIFA. Itu bisa dimulai ketika PSSI era Nurdin Halid memelintir
sebuah pasal dari statuta FIFA terkait status seorang terpidana kasus hukum.
Lebih heboh lagi adalah beberapa kongres yang 'luar biasa',
seperti di Pekanbaru yang sampai melibatkan tentara di luar arena kongres, dan
akhirnya batal terlaksana. Berikutnya kongres Komite Normalisasi pimpinan Agum
Gumelar yang deadlock.
Thierry Regenass, yang merupakan orang FIFA paling terkenal di Indonesia kala
itu, sampai pucat pasi ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri hujan
interupsi, dan polisi yang begitu sigap masuk ruangan guna melindungi pimpinan
sidang. Entah apa sesungguhnya yang ada di pikiran dia dengan pengalaman
“mengerikan” itu.
Betapa hebatnya FIFA (dan statuta) bagi pengurus federasi
sepakbola di negeri ini. Nurdin dan Djohar Arifin sama-sama kerap memakai itu
sebagai tameng dari setiap kritikan. Ini sesuai statuta, ini melanggar aturan
FIFA. Hati-hati dengan statuta, bisa-bisa kita dijatuhi sanksi FIFA. Dan seterusnya.
Entah sudah berapa kali wacana sanksi FIFA itu bergulir untuk
sepakbola Indonesia. Sebagian masyarakat menjadi “bingung”. Ketika menghadapi
rezim Nurdin yang keras kepala, skorsing FIFA dianggap sebagai sesuatu yang
tidak apa-apa. Dalihnya, dicekal sebentar lebih baik daripada diorupsi
terus-terusan.
Di awal pertempuran PSSI versus KPSI, wacana itu muncul lagi. Kali
itu ancaman skorsing dinilai akan sangat merugikan, menghambat pembinaan dan
lain-lain. Dan kini, setelah pertempuan itu tak selesai-selesai, sepertinya
sanksi FIFA menjadi opsi yang didukung lagi. Bedanya, alasannya lebih “simpel”:
masyarakat muak dengan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan banyak pihak
ini
“Sanksi FIFA” atau “statuta FIFA” jadi kosa kata populer dalam
perbincangan mengenai sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun lamanya. Dari
era kepemimpinan Nurdin sampai sekarang. Ini cerminan betapa sepak bola
Indonesia sudah kehilangan kreativitas dan ide.
Jika dulu Nurdin and
the ganks menakut-nakuti publik sepakbola dengan “sanksi FIFA”
dan “statuta FIFA”, kini penerus mereka malah menginginkan “sanksi FIFA” jika
itu dirasa sebagai satu-satunya cara untuk merebut kepemimpinan PSSI dari
tangan Djohar Arifin. Sementara itu, era Djohar sebenarnya mencoba mengenalkan
kosa kata baru, seperti “industri sepakbola” atau “sport science”, tapi ujung-ujungnya – seperti
terlihat dalam beberapa waktu terakhir—“sanksi FIFA” dan “statuta FIFA”
lagi-lagi menjadi kosa kata yang mendominasi pembelaan diri mereka.
Sejarah kembali berulang. Histoire
se repete. Sama saja – setidaknya sama-sama menggunakan dan
mengekploitasi kosa kata “sanksi FIFA” dan “statuta FIFA”.
FIFA seperti dewa, padahal di Eropa sana organisasi pimpinan Sepp
Blatter ini sudah mulai ketahuan belangnya. Mereka ladang korupsi juga. Mantan
pelatih timnas Inggris, Graham Taylor, misalnya, pada Juni tahun lalu pernah
membongkar salah satu kebiasaan korup di FIFA tersebut. Ketika bekerja di
Komite Teknis, ia mengaku sering diminta me mark-up biaya-biaya.
Di luar sisi buruk FIFA tersebut, kiranya perlu juga dipikirkan
soal Indonesia yang tak kunjung diberi sanksi oleh mereka. Akui saja, Indonesia
bukan siapa-siapa di dunia sepakbola. Boro-boro ikut Piala Dunia, juara di
level ASEAN saja, yang jumlah negaranya tak lebih dari 10, susahnya minta
ampun.
Mohon jangan tersinggung dan mengatakan saya tidak nasionalis.
Tapi, sejauh ini Indonesia bukanlah pelaku dalam sepakbola dunia, melainkan
pasar. Ratusan juta orang di negeri yang sangat menggilai sepakbola adalah
sebuah pasar yang besar. Puluhan juta manusia senang memakai kostum Manchester
United, Real Madrid, AC Milan dan lain-lain -- asli maupun abal-abal. Dan
klub-klub itu siap datang ke Jakarta kapan saja selama harganya cocok. Hak siar
liga/kompetisi Eropa yang harganya ratusan miliar rupiah, setiap tahun dijual
ke Indonesia. Untuk urusan membeli produk sepakbola luar, betapa Indonesia “gemah ripah loh jinawi”.
Maka dari itu, semestinya pasar kita bisa bermanfaat untuk kita
sendiri. Sepakbola Indonesia ya buat Indonesia. Sialnya, karena konflik “abadi”
ini potensi-potensi itu menjadi terbengkalai, tak tergarap. Sponsor pun jadi
malas datang. Energi terus saja dikuras untuk berebut kue yang sedang tak
seberapa itu. Entah sudah berapa puluh bahkan ratus miliar yang sudah
dikeluarkan Nirwan Bakrie dan Arifin Panigoro untuk melanggengkan pertarungan
itu.
Sementara itu, tim nasional kemarin sampai harus menerima belas
kasihan suporter yang menyumbangkan uang untuk membantu biaya berangkat ke
Piala AFF yang baru lalu -- dan kita tersungkur, tapi pemain-pemainnya dicaci
maki pula. Lalu klub-klub pun sudah kehabisan bensin untuk membayar gaji para
pemainnya, dan Diego Mendieta telah kehilangan nyawanya di tanah yang kaya ini,
akibat ulah mereka yang tak bertanggung jawab menelantarkan orang secara tidak
manusiawi.
Sepakbola Indonesia ya buat Indonesia. Mestinya sih begitu. Tidak
puas hanya jadi konsumen dan pasar para pemilik klub-klub Eropa, mosok sekarang
kita harus jadi konsumen “kerakusan” para pemodal sepak bola lokal?
Salah siapakah itu semua? Salah FIFA? Well, FIFA takkan
mengatrol posisi kita di daftar peringkat dunia selama timnas kita tak
menang-menang, atau menalangi gaji pemain yang berbulan-bulan tak dibayar
klub-klub di sini. Ini jelas salah kita.
Sesungguhnya saya tidak tahu apakah harus senang atau sedih jika
FIFA kali ini -- sekali lagi, jika kali ini – benar-benar akan menjatuhkan
sanksi untuk Indonesia -- entah karena akhirnya PSSI dinyatakan tak mampu dan
melanggar sebuah statuta, atau lantaran intervensi pemerintah, karena hanya dua
hal itu yang memungkinkan sebuah negara dihukum FIFA.
Kemarin, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia pada 10
Desember, setelah terjadi dua kongres di Palangkaraya dan Jakarta -- organisasi
yang sah melakukannya di lobi hotel sambil berdiri karena pintu ruang sidang
dikunci polisi, sedangkan yang tidak sah lancar-lancar saja menggelarnya di
ballroom hotel --, ditambah sikap tak tegas dari pemerintah, saya lebih
memikirkan bagaimana nasib sepakbola Indonesia yang sudah nyaris lumpuh ini di
esok hari, jika ataupun tidak disanksi FIFA.
Maka tulisan ini bukan untuk menyodorkan sebuah solusi. Tulisan
ini cuma untuk mengutuk mereka yang telah memperkosa sepakbola negeri ini.
==
* Penulis adalah redaktur detiksport. Akun twitter: @sururi10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar